KONSEP ETIK DAN
KONSEP KASUS
Etik
Etik berasal dari bahasa yunani “ETHOS” artinya karakter,
watak, kesusilaan, atau adat.
Etik tidak hanya
menggambarkan sesuatu, tetapi lebih kepada perhatian dengan penetapan norma
atau standar kehidupan seseorang dan
yang seharusnya dilakukan (Mandle, Boyle, dan O’Donohoe, 1994).
Etik juga dapat digunakan untuk mendiskripsikan
suatu pola atau cara hidup, sehingga etik mereflesikan sifat, prinsip, dan
standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral
perawat telah dideskripsikan sebagai “etik
perawatan” (Bevis, 1998;Leininger,1988;Watson,1988).
Etik keperawatan :
Etik keperwatan dihubungkan dengan
hubungan antar masyarakat dan dengan karakter serta sikap
perawat terhadap orang lain. Pengetahuan perawatan diperoleh melalui keterlibatan
pribadi dan emosional dengan orang lain dengan ikut terlibat dalam masalah
moral mereka (Cooper, 1991). Dapat juga didefinisikan seperti :
1.
Sudut pandang pada apa yang baik dan benar
untuk kesehatan dan kehidupan mausia.
2.
Mengarahkan bagaimana seorang perawat harus
bertindak dan berinteraksi dengan orang lain.
Etika keperawatan :
Menurut Martin
(1993), etika didefinisikan sebagai “ The discpline which can act as the
performance index of reference for our control system”. Dengan demikian,
etika akan memberikan batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan
manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya Secara khusus
dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam
bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan
prinsip moral yang ada. Jadi, etik adlah rrefleksi apa yang disebut dengan self
control. Praktek keperawatan mengharuskan berhubungan dengan klien secara
fisik, emosional, psikologis, dan spiritual dan akan ditemukan nilai-nilai
tertentu.
Nilai
Nilai adalah kepercayaan individu tentang kegunaan dari
ide, sikap, adat istiadat, atau objek
yang menentukan standart yang mempengaruhi perilaku (Moslow 1959)
Ciri-ciri nilai :
ü Membentuk dasar
perilaku seseorang.
ü Dapat dilihat dari
perilaku yang konstan.
ü Merupakan control
internal bagi perilaku
Nilai dalam
keperawatan :
Nilai perawat yang paling fundamental adalah perawatan
(pemberian asuhan keperawatan). Perlindungan atau advokasi kllien juga
berkembang sebagai nilai keperawatan primer. American Assosiation of
Colleges of Nursing (AACN) menetapkan tujuh nilai keperawatan esensial
lainnya yang meliputi altruisme, persamaan, estetika, harga diri manusia,
keadilan dan kebenaran.
Nilai-nilai
keperawatan nasional :
1.
Segala tindakan menghargai martabat manusia.
2.
Melindungi privasi individu.
3.
Bertanggung jawab terhadap tindakan yang telah
dilakukan.
Hubungan Nilai dan
Etik
Nilai dan etik saling berhubungan
yang membentuk moralitas pribadi dan profesional, mempengaruhi etik hubungan, perilaku
dan pengambilan keputusan seseorang. Nilai berdasarkan pengalaman, agama,
pendidikan dan budaya. Sumber
nilai bagi perawat adalah profesi perawat dan institusi tempat ia bekerja. Etik
seseorang akan lahir dari nilai yang ia yakini.
Prinsip Etis
Prinsip yaitu suatu yang mendasar,
prinsip tersebut ada 8 yaitu :
1.
Prinsip respek pada seseorang, yaitu menetapkan
bahwa semua etik perawatan kesehatan dan secara tidak langsung manusia harus
menghargai kehidupannya sendiri dan kehidupan orang lain, serta menerima
kematian (Thiroux,1990)
2.
Autonomi, berarti setiap individu harus
memiliki kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dan cara bermoral mereka
sendiri. Para kritisi menganggap bahwa model autonomi yang sangat individualis
akan mengarah pada hasil perawatan kesehatan yang tidak realistis dan pandangan
yang tidak adekuat terhadap seseorang (Childress dan Fletcher, 1994).
3.
Non-Malefisien, yaitu tidak membahayakan.
Non-Malefisien memberikan standart minimun dimana praktisi selalu memegangnya.
Dalam situasi klinis, sering sulit untuk menggambarkan garis antara bahaya yang
tidak berarti dan melakukan yang baik. Kontinum ada pada rentang bahaya tidak
berarti sampai pada tiga tindakan maslahat : membuang bahaya, mencegah bahaya,
dan melakukan langkah positif untuk melakukan yang baik untuk keuntungan orang
lain.
4.
Kemaslahatan, yaitu berbuat baik. Dalam
menentukan hal baik dalam situasi perrawatan kesehatan kita harus
memperhitungkan risiko dan maslahat dalam setiap kasus.
5.
Keadilan, yaitu menuntut perlakuan terhadap
orang lain yang adil dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka yang
menjunjung prinsip moral, legal, dan kemanusiaan.
6.
Kejujuran, yaitu kewajiban untuk mengungkaopkan
kebenaran.
7.
Kerahasiaan, yaitu kewajiban untuk melindungi
informasi rahasia.
8.
Kesetiaan, yaitu kewajiban untuk menepati
janji.
KONSEP KASUS
SALAH PROSEDUR ( Kelalaian )
Istilah “kelalaian” adalah terjemahan dari “Negligence”
(Belanda: nalatigheid) dalam arti umum bukanlah suatu pelanggaran hukum atau
kejahatan. Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh, tidak pedulian.
Tak memperhatikan kepentingan oarang lain sebagaimana lazimnya di dalam
tata-pergaulan hidup masyarakat. Selama akibat dari kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain, atau karena hal-hal yang
menyangkut sepele, maka tidak ada akibat hukum apa-apa. Prinsip ini
berdasarkan suatu adagium “De minimis
not curat lex. The law does not concern itself with trifles”. Hukum
tidak mencampuri hal-hal yang di anggap sepele.
Namun apabila kelalaian
itu sudah mencapai suatu tingkat tertentu dan tidak mempedulikan benda atau
keselamatan jiwa atau benda orang lain, maka sifat kelalaian itu bisa berubah
menjadi serius dan kriminil. Hukum
tidak lagi bisa tinggal diam, karena sifat kalalaian ini sudah merupakan
pelanggaran terhadap kepentingan umum serta pelanggaran terhadap
perundang-undangan. Jika sebagai akibatnya sampai mencelakakan, mencederai atau
bahkan merenggut nyawa orang lain maka oleh hukum tingkat kelalaian itu
digolongkan sudah termasuk perumusan pidana sebagaimana tercantum di dalam KUH
Pidana pasal 359. Dapat di tarik kesimpulan bahwa kelalaian (culpa adalah suatu
pengertian normatif).
Falsafah Keperawatan
Keperawatan adalah bagian integral
dari pelayanan kesehatan yang merupakan pelayanan esensial dalam menigkatkan
harkat hidup individu, keluarga, dan masyarakat. Keperawatan adalah unik,
keunikan antara cara mensintetiskan ilmu sosial dasar, ilmu prilaku dasar, dan
ilmu biologi dasar dalam melaksanakan fungsinya untuk meningkatkan kesehatan.
Sebagai profesi,
keperawatan memiliki otonomi dan keahlian serta pengawasan terhadap pendidikan
dan praktik keperawatan. Keperawatan merupakan suatu proses yang dilaksanakan
dengan tindakan terarah, berorientasi pada masalah yang menggunakan pendekatan
ilmiah dan dilandasi etika profesi.
Praktik Keperawatan dan Hukumnya
Tidak
ada isu hukum yang menimbulkannya kecemasan di antara perawat sebesar isu
lilabilitas malpraktik. Perkara malpraktik secara emosional dapat menyiksa,
secara profesional menghancurkan, dan secara finansial membawa malapetaka.
Patut disayangkan, semakin banyak perawat terjerat perkara hukum dan tidak ada
tanda-tanda tren ini akan berubah. Bebeapa alasannyang mendasari fenomena ini
adalah:
·
Pengetahuan klien tentang perawatan kesehatan
semakin meningkat dan ekspektasi mereka lebih tinggi.
·
Untuk membantu menekan biaya, sistem pelayanan
kesehatan semakin giat mengganti tenaga perawat dengan teknisi atau pembantu
perawat, yang biasanya disupersivi perawat. Perawat kemudian bertanggung jawab
tehadap tindakannya juga tindakan bawahannya.
·
Otonomi perawat dalam praktik semakin bertambah. Hal ini membuat tanggung
jawab mereka terhadap kesalahan yang terjadi menjadi lebih besar dan
meningkatkan kemungkinan mereka
dianut.
·
Pengadilan memperluas definisi lilabilitas,
menghimbau semua profesional deri berbagai bidang menerapkan standar
akuntabilitas yang lebih tinggi.
Kekalahan anda dalam suatu perkara hukum malpraktik dapat
membahayakan karir anda sebagai perawat. Calon majikan dan perusahaan asuransi akan menyelidiki
apakah anda pernah terbukti bertanggung jawab terhadap malpraktik keperawatan
atau anda pernah menjadi tergugat dalam suatu perkara hukum. Apabila pernah,
maka akan sulit bagi anda mendapatkan pekerjaan. Anda juga akan membayar premi
yang lebih mahal untuk asuransi lilabikitas profesional dan beberapa perusahaan
asuransi mungkin menolak memberi perlindungan asuransi kepada anda.
Lebih parah lagi,
suatu keputusan yang menentang anda akan melibatkan pembayaran sejumlah besar
uang. Menurut Asosiasi Perawat Amerika ( American Nurses Assosiation, ANA ),
biaya rata-rata yang digunakan utuk setiap klaim kurang lebih 145000 dolar AS.
Denda paling tinggi 5 juta dolar, diterapkan setelah perawat gagal membaca
label obat dan memberi pasien lidokain 10 kali dosis yang diperogramkan.
Untungnya, anda dapat
membatasi kerentanan anda terhadap perkara pengadilan malpraktk. Strategi yang
paling penting adalah memberi pasien anda asuhan keperawatan sebaik mungkin,
menurut standart profesional tertinggi. Standart asuhan yang dimaksud ialah
batasan yang diterapkan pada setiap undang-undang prktik keperawatan negara
bagian. Kebijakan dan prosedur yang diterapkan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan tempat anda bekerja, standart yang diadaptasi oleh Asosiasi Perawat
Amerika (ANA), dan standart yang diterapkan oleh organisasi keperawatan klinis
spesialisasi. Setiap perawat harus memahami dengan baik undang-undang prktik
perawat dinegaranya masing-masing dan standart lain yang dapat diterapkan dalam
praktiknya.
Hukum Perdata
Sebagian besar
perkara hukum terhadap perawat masuk ke dalam kategori perdata. Apabila anda
pernah menjadi tergugat dalam sebuah perkara hukum, pemahaman perbedaan dalam
kategori yang luas ini penting.
Suatu kasus perdata (tort) adalah suatu kesalahan atau
kerugian sipil yang terjadi karena pelanggaran terhadap suatu kewajiban hukum
yang terbentuk oleh ekspektasi masyarakat terhadap prilaku interpersonal. Kewajiban hukum ini
terbentuk dari asumsi tentang suatu kewajiban dalam hubungan profesional (kebaikan kewajiban yang terbentuk dari nilai dalam
suatu hubungan perjanjian). Secara lebih umum, anda bisa mendefinisikan kasus
perdata sebagai “suatu tindakan atau kelalaian yang membahayakan seseorang”. Istilah
malpraktk sendiri mengacu pada kesalahan yang dilakukan oleh seoramg
profesional dalam kapasitasnya sebagai tenaga profesional.
Kesalahan yang Tidak Disengaja dan Disengaja
Hukum secara luas membagi kasus perdata dalam 2 kategori:
kesalahan yang disengaja dan tidak disengaja. Kesalahan perdata tidak yang
disengaja (unitentio nal tort) adalah kesalahan sipil yang terjadi akibat
kelalaian tergugat. Apabila seorang menggugat anda karena pelalaian
(negligence), ia harus menghadirkan 4 bukti untuk bisa memenangkan kasus
tersebut:
·
Anda
sehrusnya melakukan tugas tertentu baginya. (dalam kasus malpraktik
keperawatan, tugas ini tercakup dalam standart asuhan).
·
Anda melanggar tugas tersebut.
·
Penggugat dirugikan. (bisa berupa kerugian
fisik, mental, eosional, atau finansial).
·
Pelanggaran tugas ini akam menimbulkan bahaya.
Kesalahan pedata yang disengaja (intentional tort) adalah pelanggaran terhadap hak hukum
sesorang yang dilakukan dengan sengaja. Dalam suatu kasus malpraktik yang
melibatkan kesalahan perdata yang disengaja, penggugat tidak
perlu membuktikan bahwa anda semestinya melakukan suatu kewajiban kepadanya. Kewajiban yang
diperkarakan tersebut (misalnya, tidak menyentuh seseorang tanpa ijin orang
tersebut) sudah ada dalam ketetapan hukum dan anda diasumsikan berhutang ini
kepadanya. Penggugat harus bisa membuktikan bahwa anda tidak mematuhi kewajiban
ini sehingga mengakibatkan bahaya pada diri penggugat. Perkara hukum ini
biasanya diajukan dengan landasan teori tanpa ada surat persetujuan (informed consent).
Semakin sering kita mendengar,
betapa pihak pasien dirugikan oleh pihak layanan medis. Kesalahan medis terjadi bila sesuatu yang sudah
direncanakan sebagai bagian dari terapi pasien, tidak seluruhnya membuahkan
hasil. Atau rencana terapi dokter sudah salah sejak awalnya, sehingga merugikan
pihak pasien.
Kesalahan medis dapat terjadi di
bagian mana saja dari unit layanan medis, seperti rumah sakit, klinik,
puskesmas, praktik dokter, rumah bersalin, atau di apotek, yang bisa menyangkut
urusan obat, tindakan bedah, diagnosis, alat periksa, dan laboratorium.
Di bawah ini, ada 20 cara praktis
agar kesalahan medis tidak terjadi:
1. Merasa perlu terlibat atau dilibatkan pihak layanan
medis untuk setiap keputusan yang akan diambil dalam upaya penyembuhan
penyakit. Pasien punya hak untuk bertanya apa saja yang bersangkut-paut dengan
kondisi kesehatan, dan setiap apa yang dokter pikirkan untuk melakukan suatu
tindakan, pengobatan, atau apa pun lainnya.
Selama dokter dalam proses menuju pengambilan
keputusan, jangan sungkan untuk ikut terlibat atau minta dilibatkan, betapa
sederhana pun keputusan yang dokter, atau perawat, bidan, akan ambil. Tanyakan
pula apa bahaya atau yang mungkin akan terjadi andai tidak diberi obat atau
tidak dilakukan tindakan.
Keputusan dokter seberapa penting, dan seberapa risiko
bahaya, serta efek samping yang diperkirakan bakal muncul. Adakah pilihan lain,
dan seberapa daruratkah kalau masih ada waktu untuk menunggu.
2. Pastikan kembali bahwa dokter yang merawat
mengetahui apa saja yang sudah pasien peroleh, baik dalam hal tindakan maupun
obat-obatan sebelumnya. Kalau perlu, ulang kembali apa saja yang sudah
diperiksa dan hasilnya, obatnya berapa macam, serta diet apa yang sudah
ditempuh. Apakah ada obat lain, seperti jamu, obat alternatif (tidak boleh
diam-diam kalau mengonsumsi obat Cina, misalnya).
Bisa terjadi, ibu hamil minum obat Cina atau arak
penguat sebelum persalinan, yang bisa berisiko buruk jika dikonsumsi ibu dengan
riwayat pernah sectio atau pernah robek rahim. Sebaiknya beri tahu dokter
sebelum mengonsumsinya. Jika berobat
jalan, untuk pasien penyakit menahun, ada baiknya bawalah semua obat yang
selama ini diminum agar dokter melihat sendiri, siapa tahu dokter sudah lupa
atau luput harus memberi obat lain. Dengan demikian, dokter bisa membuat resume
paling mutakhir rekaman medik obat dan pemeriksaan (tes) apa saja yang sudah
pasien peroleh dan lakukan, sehingga tidak tumpang tindih, atau pasien luput
mendapat obat atau pemeriksaan yang lengkap.
3. Pastikan pula dokter tahu persis apakah pasien
mengidap alergi atau tak tahan terhadap obat-obatan tertentu. Tak jarang,
apalagi di kita yang tidak memiliki "paspor kesehatan" dan belum
memiliki dokter keluarga, biasa berpindah-pindah dokter, sehingga dokter belum
tentu mengetahui seluruh kondisi pasiennya.
Pihak pasien-lah yang perlu lebih cerewet menjelaskan
status tubuh maupun kelemahan serta kerentanan tubuhnya sendiri. Punya sakit
mag, tidak kuat obat sesak, tak cocok minum obat anu, dan seterusnya. Kasus
alergi hebat yang bisa mengancam nyawa bisa terjadi pada mereka yang berbakat
alergi (kasus Steven Johnson syndroma), kulit sekujur tubuh tumbuh
gelembung-gelembung beberapa saat setelah mengonsumsi sejenis obat yang ia tak
tahan menerimanya. Jika pernah alergi, pasien harus memberi tahu secara aktif
kepada dokter yang memeriksanya.
4. Jangan sungkan bertanya apa nama obat yang
diresepkan, supaya jika pihak apotik juga kesulitan membaca resep, pasien bisa
membantu. Tak sedikit korban kesalahan membaca resep, apalagi jika pihak apotik
tidak minta konfirmasi kepada dokter, saking cakar ayamnya tulisan dokter di
resep. Fatal jika orang dengan tensi normal mendapat obat darah tinggi, atau
penderita kencing manis mendapat obat gula.
5. Jangan pula sungkan berdiskusi
dengan dokter, kendati dalam praktiknya tak mudah. Paling tidak, bertanya
tentang obat yang diresepkan. Pasien berhak tahu, untuk apa obat yang
diberikan, kenapa harus obat itu, berapa lama harus dikonsumsi, serta apa efek
sampingnya. Apa pula yang harus dilakukan sekiranya efek samping muncul? Apakah
boleh dicampur dengan obat atau diet lain. Makanan, minuman, dan kegiatan apa
yang tak dibolehkan sehabis mengonsumsi obat?
6. Tanyakah pula kepada petugas apotik, apakah obat
yang diberikan sesuai dengan resep dokter. Sekiranya ada obat yang diganti,
sudahkah pihak dokter diberi tahu. Sebagian besar kesalahan ihwal obat terjadi
di apotik. Kelalaian petugas apotik, kurang dihormatinya sikap
patuh pada resep, dan tidak cermat menjelaskan
pemakaian obat merupakan hal-hal yang perlu pasien cereweti.
7. Bila kurang mengerti membaca label pada kemasan
obat, jangan ragu untuk bertanya. Tidak sedikit pasien yang kurang memahami
instruksi yang tertulis pada label obat, seperti 3 X 2 tablet/sehari, atau 4 X
3 tetes telinga kanan/sehari, atau 2 X 2 kapsul/sehari. Kesalahan membaca
instruksi akan berarti tidak tepatnya obat digunakan. Selain mengurangi efek
kesembuhan, bukan tak mungkin kelebihan dosis.
8. Demikian pula dalam hal membaca takaran obat,
khususnya obat dalam bentuk cairan. Yang sering terjadi, takaran sendok makan,
sendok teh, dan berapa kali diminum sehari. Ukuran sendok
rumah tangga tidak sama dengan ukuran sendok obat. Maka, lebih baik gunakan
sendok obat (jika ada) daripada sendok dapur. Sendok makan obat berarti 15 ml
dan sendok teh berarti 10 ml.
9. Dalam hal peringatan efek samping obat, sebaiknya
pasien mencatat, efek samping apa saja yang mungkin muncul. Tidak semua orang
sama respons tubuhnya terhadap obat yang sama. Ada yang lebih peka, ada yang
tidak mengganggu, sehingga pengalaman orang lain belum tentu layak didengar.
Yang punya sakit mag sebaiknya waspada jika diberi
obat encok atau obat pereda nyeri. Tak salah untuk selalu memberi tahu kondisi
lambung setiap berobat ke dokter yang belum mengenal kita. Tak jarang, mendadak
mag kambuh sehabis minum obat dari dokter, karena kita tidak cerewet memberi
tahu, sementara dokternya sendiri tidak berusaha untuk tahu.
10. Dalam hal memilih rumah sakit untuk melakukan
tindakan medis apa pun, pikirkan untuk memilih rumah sakit yang sudah
berpengalaman dalam tindakan yang harus kita tempuh. Misal untuk tindakan bedah
tulang, carilah rumah sakit yang sudah sering melakukan tindakan tersebut.
Demikian pula untuk tindakan-tindakan yang lebih khusus, lebih spesial, dengan
risiko kegagalan yang tinggi. Tak ada salahnya selalu meminta pendapat kedua
kepada dokter ahli lain.
11. Rumah sakit merupakan sumber berkumpulnya berbagai
jenis kuman penyakit. Tak sedikit jenis kuman ganas yang sudah tak mempan
dengan antibiotika biasa (nosocomial infections). Pastikan sewaktu pulang dari
perawatan rumah sakit kita tidak membawa pulang kuman ganas ke rumah. Caranya,
basuh tangan lebih bersih dengan antisepsis saat meninggalkan rumah sakit,
termasuk berkeramas, menukar pakaian rumah sakit, dan langsung menukar pakaian
lalu mencucinya setiba di rumah.
12. Sebelum pulang dari rumah sakit, tanyakan lebih
rinci kepada dokter yang merawat, apa obat yang harus diminum di rumah, sampai
berapa lama, dan apa yang harus dilakukan dengan bekas operasi, bekas tindakan.
Apa yang harus dilakukan jika terjadi sesuatu dan kapan kembali kontrol, juga
apa yang akan terjadi sehubungan dengan tindakan medis atau mengonsumsi bekal
obat yang dibawa pulang.
13. Jika harus menjalani pembedahan, pastikan dokter,
perawat, dan petugas kamar bedah tahu bagian tubuh dan sisi yang mana yang akan
dibedah. Tak jarang, operasi dengkul sebelah kanan, dokter membedah dengkul
yang kiri, atau dokter masih bertanya mau membedah apa setelah berada di kamar
operasi, sehingga bikin pasien jadi sangsi. Etisnya, sehari sebelumnya dokter
sudah memberi penjelasan rinci ihwal tindakan bedah yang akan dilakukan, berapa
lama, dan apa yang akan terjadi sehubungan dengan tindakan bedah itu. Baru
setelah itu surat pernyataan setuju pasien ditandatangani.
14. Apabila masih ada yang meragukan, belum jelas,
atau ada kesangsian terhadap dokter, jangan ragu bertanya ulang sampai jelas
benar. Misal, apakah pembedahan memang satu-satunya pilihan. Jika tidak
dilakukan, apa akibat buruk medisnya? Tak jarang, sehabis dilakukan tindakan
bedah atau tindakan medis, keadaan menjadi bertambah buruk. Bisa jadi malah
sampai merenggut nyawa. Orang yang semula sehat, iseng-iseng diperiksa dan
dilakukan tindakan (invasif) untuk memeriksa jantung, malah pulang tinggal nama.
15. Pastikan dokter yang merawat
terus memonitor pasien sehabis melakukan tindakan medis. Di kita, dokter
cenderung berpraktik pada lebih satu rumah sakit. Baru selesai membedah di
rumah sakit A, sudah langsung pindah ke rumah sakit B. Tak jarang komplikasi
suatu tindakan luput termonitor sebab dokter sudah tidak berada di tempat lagi.
Perdarahan pascaoperasi, misalnya. Untuk itu, kita perlu memiliki informasi jadwal
praktik dokter yang merawat kita setiap hari, di alamat mana saja, selain bisa
dikontak di telepon atau ponsel berapa saja, untuk jaga-jaga seandainya terjadi
sesuatu yang tak diinginkan.
16. Selain dokter yang melakukan tindakan medis,
pastikan semua perawat, petugas kamar bedah, dan semua yang terlibat,
mengetahui segala hal-ihwal yang sudah dilakukan terhadap pasien. Maksudnya,
agar sekiranya ada hal-hal atau komplikasi yang timbul beberapa waktu setelah
tindakan medis, tak sulit menelusurinya. Rekam medik saja sering tidak cukup.
17. Pastikan ada yang mendampingi pasien saat
komunikasi dengan dokter yang akan melakukan tindakan medis. Perlu dijalin
komunikasi yang lancar dengan dokter sehubungan dengan tindakan medis yang akan
dilakukan. Sehingga sekiranya terjadi penyimpangan, kejadian di luar rencana
atau prosedur tidak akan sampai menimbulkan salah paham atau kecurigaan.
Komunikasi dokter dengan pasien dalam transaksi medis akan menentukan kualitas
layanan medis yang akan dihasilkan.
18. Jangan beranggapan bahwa semakin banyak tindakan,
semakin banyak jenis obat diberikan atau pemeriksaan dilakukan, akan memberikan
kebaikan bagi kesehatan. Sebaliknya, seberapa bisa sebaiknya membatasi tindakan
medis, terlebih yang bersifat invasif (bedah, tindakan suntikan, pemeriksaan
dengan radioaktif, pemeriksaan dengan cairan kontras, pemeriksaan dengan manipulasi
bagian dalam tubuh). Kalau boleh tidak dilakukan, sebaiknya tidak dilakukan.
Betapa enteng dan sederhana pun setiap tindakan invasif, seperti memasukkan
pipa, selang, atau bahan pemeriksa ke dalam tubuh, selalu ada risiko jeleknya.
19. Setiap kali dokter meminta pemeriksaan, baik
laboratorium, pemotretan organ, atau apa saja, pasien harus tahu hasilnya.
Tentu perlu bertanya sebelum semua anjuran pemeriksaan itu dilakukan, apa
tujuannya, dan apa yang diharapkan. Orang yang sudah jelas kanker paru-paru,
buat apa diperiksa teropong bronchoscopy lagi, yang selain menambah biaya,
berisiko memperburuk kondisi pula. Tanpa kabar medis dari dokter,
bukan berarti selalu berita baik.
20. Kalau dokter melakukan tindakan medis atau
pemberian obat yang merupakan penemuan baru atau peralatan medis baru, pastikan
apakah temuan itu sudah aman dan menempuh uji klinis atau uji aman berdasarkan
laporan ilmiah, dan sudah disetujui Badan Pengawasan Obat setempat atau
internasional. Banyak kali terjadi,
pasien menjadi kelinci percobaan untuk obat, teknik, atau cara pemeriksaan baru
yang belum tentu aman dan sahih secara medis. Perlu bukti mutakhir bahwa apa
yang dokter lakukan, kerjakan, dan berikan betul legal secara medis dan dinilai
aman.
Kasus:
Tidak Melakukan Pengetesan – Kelainan Diagnosis
Steeves v. United States, 294 F. Supp. 466 (D.
C. S. C. 1968)
Di dalam kasus ini
para dokterdianggapa lalai karena tidak menyuruh melakukan pengetesan
Laboratorium dari serang anak yang di guga kemungkinan radang usus buntu. Oleh
bagian farmasi dari angkatan udara, pasien di rujuk ke RS. Angkatan Laut dengan
sebuah surat rujukan dengan indikasi jumlah darah putih yang tinggi dengan
dugaan apendisitis. Namun pengetesan ke arah itu lebih lanjut tidak dilakukan
dan pasien di suruh pulang.
Esok harinya pasien
kembali ke unit gawat darurat dan oleh dokternya juga di suruh pulang dan
menegakkan diagnosis gastroenteritis. Lagi – lagi tidak dilakukan pemeriksaan
diagnostik. Lusanya pasien kembali lagi ke rumah sakit, karena ternyata pasien
harus menjalani operasi usus buntu yang sudah pecah.
RS. Angkatan Laut
dipersalahkan karena bertanggung jawab atas kelalaia dari stafnya. Oleh hakim
dikatakan lebih lanjut bahwa salah menegakkan diagnosis tidak selalu
dipersalahkan. Hanya seorang dokter harus memeriksa dengan hati – hatu dan
teliti sebelum menegakkan diagnosisnya. Hanya apabila pasien sudah diperiksa
dengan teliti, maka suatu diagnosis yang keliru tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya. Di dalam kasus ini para dokter tidak melakukan
pemeriksaan laboratorium pada saat pasien itu dua kali dibawa ke rumah sakit
dan hal ini tidak menunjukkan praktek yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Praptianingsih S.2006: Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya
Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Edisi 1. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Guwandi J. 2007. Hukum Medik (Medical Law). Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
Ta’adi. 2010. Hukum Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
Perry, Potter. 2005. Fundamental Keperawatan. Edisi 4,
Volume 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar